KESAKSIAN SOEBANDRIO (G-30-S)



Berbicara, tepatnya membicarakan, tentang Soeharto, mantan presiden yang memerintah selama 32 tahun secara terus-menerus itu, tidak akan ada habis-habisnya. Kepemimpinan Soeharto sudah sering dikupas oleh penulis Indonesia, bahkan juga penulis asing, dan berbagai aspek.
Tahun 2002 ini untuk pertama kalinya ada satu dari rakyat bangsa Indonesia, yaitu Elieser S. Hadmodjo, yang mengupas kepemimpinan Soeharto dari kacamata teologi. Penulis menjadikan tema tersebut sebagai tesis S2 pada program Magister Ministri di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada lahun 2001.
Buku ini dibagi menjadi enam bagian yang mencoba menjawab gaya dan kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden RI dan perspektif teologi kristiani dengan sistematika sebagai berikut.
Bagian pertama mengupas mengenai latar belakang Soeharto. Bagian kedua tentang sepak terjang Soeharto, bagian ketiga model kepemimpinan Soeharto, bagian keempat reformasi dan kejatuhan Soeharto, bagian kelima kepemimpinan Soeharto dalam bingkai teologi dan bagian keenam kepemimpinan Soeharto belum usai.
Dengan dilengkapi lebih dari 100 daftar kepustakaan sebagai sumber rujukan, cendekiawan dari kalangan Muslim, Diding Sunardi, dalam "Sekapur Sirih"-nya mengomentari bahwa dengan membaca buku ini kita mendapat gambaran utuh Soeharto dalam “One Stop Shopping".
Dalam kajian latar belakang Soeharto, penelaahannya cukup menyeluruh dan dari berbagai sisi. Penulis memilahnya dan latar belakang sejarah dan dari latar belakang kehidupan Soeharto.
Yang menarik di sini antara lain dikaitkan pada masa pemerintahannya, Soeharto telah melakukan pembunuhan hak-hak politik rakyat sipil demi stabilitas keamanan. Hal itu melahirkan rakyat yang apatis dan budaya politik yang tidak demokratis pada seluruh lapisan sosial.
Kekuasaan negara telah berubah menjadi sangat personal dengan sosok seorang presiden yang bersikap seperti diktator Kabinetnya tidak dijabat oleh orang-orang yang berkomitmen pada kemakmuran rakyat, melainkan “monster-monster” politik dari institusi ABRI dan teknokrat.
Beberapa pihak secara emosional menganggap zaman Orde Baru jauh lebih represif ketimbang era Soekarno. Karena itu, sangat sulit menempatkan Soeharto sebagai pemimpin bangsa dengan mengikuti kaidah-kaidah normal.
Dengan latar belakang seperti itu, kita bisa melihat bagaimana Soeharto sampai kepada puncak kekuasaan, bagaimana ia melanggengkan kekuasaan, sampai bagaimana akhirnya ia lengser.
Kita pasti sudah membaca mengenai versi Orde Baru tentang peristiwa 30 September l965, versi keterlibatan TNI dalam peristiwa 30 September 1965, versi keterlibatan asing dalam peristiwa 30 September 1965. Yang menarik dari versi terakhir, ada kecenderungan, tafsir versi resmi atas peristiwa 1965 semakin kehilangan pendukungnya di kalangan non-Indonesia, tulisan-tulisan yang mengaitkan pihak asing, terutama AS, dalam peristiwa 1965 semakin bertambah.
Dalam kaitan ini juga. Dr. Soebandrio, wakil perdana menteri I di zaman Soekarno, mengungkapkan isi hatinya kesaksiannya tentang Soeharto dan G-30-S, tentang bagaimana hubungan Soeharto-Nasution-Yani, juga kubu Soeharto-Yoga-Ali, serta hubungan Soeharto-Untung-Latief.
Bagaimana sepak terjang Soeharto selama Orde Baru? Rezim Soeharto memang mencatat prestasi-prestasi besar. Pujian datang dari 50 pemimpin dunia, antara lain Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan Presiden Boris Yeltsin dari Rusia, ketika RI berusia 50 tahun.
Soeharto memang menjalankan kekuasaan secara profesional. Sayangnya walaupun dibungkus dengan hukum, tetap kejam, demikian Elieser mengutip pendapat Michael R.Y Vatikiotis.
Kisah Soeharto yang meraih tujuan-tujuan selama kepemimpinannya paling tidak didukung oleh faktor keberuntungan dan faktor keterampilan. Faktor keberuntungannya, awal kekuasaannya bertepatan dengan saat Perang Dingin tengah menghangat. (1965– 1966). Juga pada kekuasaanya, berita Perang Vietnam merupakan berita paling mengemuka di Asia bertahun-tahun.
Pada periode yang sama padahal terjadi pembantaian di Indonesia terhadap anggota dan simpatisan PKI, dan masyarakat dunia mengabaikannya.
Faktor keterampilan yang mendukung kepemimpinan Soeharto memiliki dua karakteristik. Yang pertama, Soeharto memiliki kemampuan menarik orang-orang dengan bakat luar biasa untuk duduk di pemerintahannya.
Mereka antara lain Ali Moertopo, Widjojo Nitisastro, Soemitro, Emil Salim, dan lain-lain. Karakteristik kedua terbentuknya kelompok pendukung yang menyatakan kesetiaan pada Soeharto secara pribadi.
Di samping itu ia pun memiliki keterampilan luar biasa menyusun dan mempertahankan suatu mesin patronase yang memastikan nyaris semua aktor orde baru tercemar dan berhutang budi kepadanya. Bisa juga ditambahkan kemampuannya yang luar biasa dalam menyusun strategi berpolitik.
Dalam melihat model kepemimpinan Soeharto, penulis buku ini memilah menjadi beberapa periode. Berawal dari periode transisi (1965–1967), periode konsolidasi (1967 –1973), periode rezeki minyak (1974–1982), periode pascarezeki minyak (1983–1987), periode ekonomi global (1988–1997) dan berakhir dengan periode krisis regional (1997 – 1998).
Proses kejatuhan Soeharto menarik untuk dibaca. Pemicunya berawal dari kerusuhan Mei 1998, lalu disusul oleh tentara yang membelot, Golkar menyeberang, dan teknokrat mundur.
Pendek kata, hampir semua pendukungnya telah meninggalkannya. Akhirnya Soeharto makin terpojok dan terisolasi bahkan ia dipandang sebagai sumber persoalan Indonesia, sehingga kelengserannya dianggap merupakan prasyarat bagi pulihnya Indonesia.
Dari perspektif teologi, kepemimpinan Soeharto dibingkaikan dengan etika Kristen, kepemimpinan Kristen, dan perbandingan kepemimpinan Krsiten dengan Raja Daud dalam Alkitab Perjanjian Lama yang merupakan tujuan penulisan buku ini.
Etika Kristen memiliki nilai-nilai Alkitabiah yang sangat sarat dengan kadar dogma. Melalui analisis yang tajam dari setiap periodisasi kepemimpinan Soeharto dikaitkan dengan persoalan etika yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dan kasih dalam ajaran Kristiani sebetulnya merupakan intinya analisis mengenai Soeharto dalam kepemimpinan Kristen.
Perbandingan Soeharto dan Daud menarik untuk disimak. Keduanya merupakan pemimpin gagah perkasa yang berhasil namun juga menemukan kegagalan.
Akan halnya Daud, ia akhirnya bertobat kepada Tuhan atas dosa-dosanya yang menghancurkan karier kepemimpinanya sebagai bentuk hukuman dari Tuhan. Iman Kristen tidak pernah memaksa tetapi memberi pilihan kepada manusia.
Soeharto sebagai manusia harus memutuskan apakah mau membuka pintu dan pertobatan, karena kejatuhannya pastilah merupakan bagian dan rencana Tuhan. Sehingga dalam perspektif Kristen akhirnya Soeharto lengser dari kedudukannya sebagai presiden tidak harus membuatnya merasa tercampakkan, karena dalam etika Kristen kejatuhan seseorang bukan kemauannya, melainkan rencana Tuhan yang dijadikan atas dirinya.
Meskipun proses pengeditan kurang teliti dan meninggalkan beberapa kesalahan cetak, buku ini berhasil melihat kelebihan dan sekaligus kekurangan seorang Soeharto, yang kebetulan adalah presiden terlama di Indonesia, dari perspektif teologi. Oleh Abraham Fanggidae ( Pengamat Sosial )

Buku ini perlu dibaca bagi siapapun yang menyebut dirinya pemimpin dalam berbagai segmen masyarakat di negeri ini untuk menumbuhkan kepekaan bahwa seorang pemimpin itu sebetulnya adalah seorang pelayan terhadap yang dipimpin. Oleh Abraham Fanggidae ( Pengamat Sosial )

Download Versi Ebooknya Disini : Kesaksian Soebandiro Gratis




Artikel Terkait:

Posting Komentar

0 Comment:

Posting Komentar