Sejarah Sastra Indonesia 3

PERIODE 1933-1942


1. Lahirnya Majalah Pujangga Baru

Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karanagan “sastra seperti Sri Poestaka (1919-1941). Panji Poestaka (1919-1992) Yong Soematra (1920-1926). Hinggga awal tahun 1930 an para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesastraan belum juga terlaksana

Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-193 ) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Ali Syahbana sebagai direktur.

Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Ali Syahbana berhasil mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum. Tahun 1935 berubah menjadi menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi pembahasan yaiut bnerbunyi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia.”

Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang banyak melontarkan gagsan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan Moh. Zain (tahun1887), S.M Latif yang menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-lain.

2. Tokoh-tokoh Poejangga Baru

Sutan Takdir Alisjahbana

Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisyahbana lahir di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul dipanggung sejarah dengan roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936), adapun roman yang berjudul Anak Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu dari pada Layar Terkembang dimuat sebagai Feulilleton dan majalah Pandji Poestaka.

Tiga puluh tahun kemudian Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru). Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting., yang terbit pada tahun tiga puluhan merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pujangga baru .Sebagai penulis roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina Bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”.

Atas inisiatif Takdir melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-1952 ). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ).

Takdir juga menulis sajak-sajak salah satunya yang mengenangkan pada kematian isterinya yaitu berjudul Tebaran Mega ( 1936 ).Esai-esai Takdir tentang sastra banyak juga antara lain “Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman Pembangunan Bangsa (1938), “Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur Baru (1941)”, dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bungarampai Puisi Lama (1941).Dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing.

Armijn Pane

Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe. Armin terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding kesopanan.

Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya.

Arminj pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang sebelumnya, melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai dengan angan masing-masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif buat romannya Belenggu.

Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula penulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949).

Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya.

Amir Hamzah (1911-1946)

Amir Hamzah termasuk salah satu penyair religius (keagamaan). Ia menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.

Ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Jawa. Aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan dan bersama Sultan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru.

Keturunan bangsawan langkat di Sumatra Timur. Ini menghasilkan karya yang tidak sedikit, diantaranya :

- Sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937)
- Buah Rindu (1941)
- Setanggi Timur (1939)
- Dsb

Ciri khas puisi Amir Hamzah :
1. Ia banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah bahasa melayu dan kawi.
2. Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda.
Isi sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Tetapi isi puisinya tidak hanya menimbulkan kesedihan, rasa sunyi dan pasrah diri tapi ia juga menekankan pada rasional.

J. E. Tatengkeng

J. E. Tatengkeng juga termasuk salah seorang penyair religius sama halnya seperti Amir Hamzah. Hanya saja yang membedakan adalah Amir beragama Islam sedangkan J. E. Tangkeng beragama Kristen. Ia juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
Penyair kelahiran Sangihe ini menulis sebuah buku yang berjudul Rindu Dendam. Puisi pertamanya berjudul Anakku dan masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe.
Sajak, kritik-kritik, esai-esainya sangat penting terutama karena sifatnya yang tegas dan jujur. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau.
Struktur puisinya bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi melayu lama lainnya.

Asmara Hadi

DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA BARU YANG LAIN

Sesungguhnya banyak penyair yang menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan. Tetapi tidak mereka lakukan.
Salah seorang diantara mereka adalah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama samaran H.R. atau Ipih, A. M. Daeng Myala (A.M. Thahir), Mozasa (Muhammad Zain Saidi) , M.R. Dajoh dan lain-lain.

a. Asmara Hadi

Sajak-sajaknya penuh romantik dan kesedihan dan dalam sebagian sajaknya lagi terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Hal ini di ilhami luka jiwa yang disebabkan oleh kematian cintanya; seperti pada puisi ‘Kusangka Dulu‘, ‘Kuingat Padamu’

b. A. M. Thahir (A.M. Dg. Myala)

Sajak-sajaknya dimuat dalam ‘Pandji Poestaka’ majalah Indonesia dan lain-lain. Pada sajaknya ada kecendrungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum buruh, misalnya dalam sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.

c. M. R. Dajoh

Ia juga menaruh minat pada pelukisan kehidupan si kecil. Karyanya antara lain: ‘Syair Untuk A. S. I. B. (1935) dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia.

d. Moehammad Zain Saidi (Mozasa)

Sajak-sajaknya hanya melukiskan kegembiraan menghadapi alam. Sajaknya sederhana namun didasari rasa cinta yang mesra, seperti dalam puisi yang berjudul: ‘Dikaki Gunung’.

e. A. Rivai (Yogi)

Pada tahun 1930 ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan dalam Sri Poestaka. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul ‘Puspa Aneka’ diterbitkanya sendiri yaitu pada tahun 1931.
Dari sajak-sajaknya akan tampak bahwa ia gemar akan teosofi dan terpengaruh oleh ajaran Krishnamurti.

Kecuali para penyair yang sudah disebut tadi dalam Poedjangga Baroe kita saksikan munculnya para penyair seperti Aoh K. Hadimadja, M. Taslim ‘Ali’ Bahrun Rangkuti, Maria Amin dan lain-lain yang perananya akan lebih penting pada kurun masa yang lebih kemudian.

3. Para Pengarang Balai Pustaka

a. Nur Sutan Iskandar

Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922) diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi H. Kroekampde Westkust en Minang Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).
Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis. Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.

b. I Gusti Njoman Panji Tisna

Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali. Roman pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman keduanya adalah Sukreni Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat bali yang keras dan kejam, roman ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.

BEBERAPA PENGARANG LAIN:

Tulis Sutan Sati menerbitkan buku sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah Sengsara Membawa Nikmat, kemudian menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St Pamuntjak dari bahasa Minangkabau kebahasa Indonesia.

Dua buah Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair Rosina. Paulus Supit pengarang Menado mengarang roman yang berjudul Kasih Ibu (1932). Aman Dt. Madjoindo lahir 1896 di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan beberapa syair diantaranya: Si Banso, Gul Bakawali. Suman Hasibuan atau Suman Hs. Lahir di Bengkalis 1904. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan. Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak Terlarai(1929), Percobaan Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Habib St Maharadja berjudul ‘Nasib’ yang mengisahkan tentang seorang pemuda Minang Kabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda.

4. Para Pengarang Wanita

Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.

Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan kekasih berturut-turut.

Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).

Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.

5. Cerita Pendek

Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun kedua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah yang sifatnya lelucon-hiburan, seperti Si Kabayan, Si Lebai malang, Jaka Dolok dan lain-lain.

Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, di bukukan dengan judul Teman Duduk.

M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922, yaitu dengan romannya yang pertama berjudul Muda Taruna. Pada tahun 1924 ia menang sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, dengan naskah Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (SI Amin) sebuah cerita kanak-kanak.

Berbagai-bagai saat dalam kehidupan manusia sehari-hari dijadikan bahan tulisan lucunya: beberapa lelucon lebaran dikumpulkannya dengan judul “Gurau Senda di I Sawal” dan yang lainnya seperti “ Bual di Kedai Kopi”, “Bertengkar Berisik”, dan lain-lain.dan hanya “Cara Chicago” lah yang tidak berupa lelucon.

Tidak banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman Hs. Kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberi judul Kawan Bergulat (1938) judul ini tidak banyak beda dengan judul kumpulan Cerpen M. Kasim: Maksudnya Hendaknya menunjuk isi buku tersebut hanyalah sekedar bahan bacaan senggang. Tetapi kalau dibandingkan gaya bahasanya, bahasa Suman lebih jernih. Hanya terasa pada bewberapa ceritanya, Suman memberikan kritik juga pada sifat-sifat manusia, misalnya dalam “Pandai Jatuh” menyindir orang yang suka sombong dalam “Fatwa membawa Kecewa” menyindir Orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah. Dalam “Kelekar Si Bigor” menyindir orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh orang yang buta huruf.

Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau). Seperti yang dikumpulkan dalam”Didalam Lembah Kehidupan” (1941). Berlainan dengan M. Kasim dan Suman Hs. Hamka mempergunakan cerpen bukan sebagai hiburan tetapi sebagai usaha untuk menggugah rasa sedih para pembaca. Adapun karya-karya Hamka adalah “kumpulan Air Mata, kesedihan dan rintihan yang diderita oleh golongan manusia diatas dunia ini dan Inyik Utih”.

Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941) dan yang diberinya keterangan “beberapa cerita pergaulan” tidak berhasil sebagai cerpen. Ada semacam prasangka dan ketakutan kepada “Barat” yang menyebabkan pengarangnya mempertahan tradisi dan keras kepala. Pada kenyataan saat Sa’adah Alim menulis cerpen-cerpen itu sebenarnya kaum muda sudah menang. Maka prasangka semacam itu terasa aneh. Tetapi kalau diingat dia berasal dari Minang
Kabau dengan sistem kemasyarakatannya matrilinial maka hal itu dapat dipahami juga.

Yang menulis cerpen-cerpen yang sungguh dan lebih ditinjau dari segi sastra ialah Armijn Pane. Cerpennya banyak dimuat dalam majalah poedjangga Baroe. Diantaranya “Barang Tiada Harga” cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya Belenggu.Dan dalam cerpennya ”Tujuan Hidup” ia melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru yang memilih hidup sendiri. Dalam cerpen “Lupa” ia melukiskan kehidupan kaum politikus yang karena tak dapat memperjuangkan cita-cita mereka oleh berbagai tekanan pemerintah lalu menghabiskan waktu mereka ditempat-tempat maksiat.

Pada masa sesudah perang cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang ditambah dengan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Kalau “Barang Tiada Berharga” merupakan prototif bagi roman Belenggu yang ditulis Armijn. Maka kita pun menemukan prototif Layar Terkembang dalam cerpen “Mega Mendung” yang ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu terbit.Cerpen itu dimuat dalam majalah Pandji Poestaka.

6. Drama

Dalam bidang penulisan Drama kita hanya menyaksikan beberapa orang saja pengarang yang rata-rata menulis lebih dari satu drama.

Roestam Effendi menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah drama sajak Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara sudah Berkata…..(1932) juga Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dimana keduanya merupakan drama berdasarkan sejarah Jawa.

Sanusi pane menulis kertajaya dan Sandhyakala Ning Majapahit yang diambil dari sejarah Jawa, drama yang ditulisnya dlam bahasa Belanda juga mempunyai latar belakang kebesaran sejarah Jawa yaitu Air Langga dan Eenzame Gaoedavlucht.

Kegemaran para pengarang kita pada masa itu melukiasakn kebesaran sejarah, mungkin disebabkan oleh karena kerinduan akan kebesaran diri sendiri.

Umunya drama-drama itu berbentuk closet drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan. Didalamnya kurang sekali gerak dan aksi ataupun pertunjukan watak melainkan banyak sekali percakapan. Namun rata-rata drama-drama tersebut pernah juga di pertunukan diatas panggung. Biasanya apabila ada kesempatan peringatan-peringatan atau kongers-kongres. Dalam roman Layar Terkembang, Takdir melukiskan bahwa dalam Kongres perikatan Perkumpulan Perempuan yang dihadiri oleh Tuti, dipertunjukan drama Sanusi Pane Sandhyakala ning Majapahit. Kesemapatan itu digunakan Takdir Alisjabana untuk mengkeritik dan mengemukakan pendapat tentang drama itu melalui tokoh-tokoh romanya.

Sanusi Pane yang mengambil tempat peistiwa terjadinya di India Manusia Baru (1940), juga merupakan closet drama. Drama ini seperti drama-drama lain sangat idealistis dan merupakan wadah si pengarang dalam mengemukakan cita-citanya mengenai Timur dan Barat permainan watak, dramatis dan lukisan-lukisan sisinya kurang mendapa perhatian.

Armijin Pane banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup jamanya. Berdasarkan cerpenya Barang Tiada Berharga” , juga melukiskan kehidupan jamannya sendiri. Akan tetapi bukan berarti ia tidak menulis drama berdasarkan peristiwa masa silam. Dari roman I Gusti Njoman Pandji Tisna, ia membuat drama ‘I Swasta setahun di Bedahulu’ dan berdasarkan sebuah cerita M.A. Salman dalam bahasa Sunda ia pun setting masa silam.

Setelah perang drama-drama Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan di terbitkan dengan jdudul Jinak-jinak Merpati (1953).

Menjelang Jepang datang, terbit pula Balai Pustaka dua buah buku drama tangan Sa’adah Alim yang berjudul. Pembalasannya (1940) dan buah tangan Adin Affandi. Yang berjudul Gadis Modern (1941). Keduanya meupakan komedi yang mengejek orang-orang intelek.

7. Roman-roman dari Medan dan Surabaya

Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dlam lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutnkan peneribitan roman-roman picisan, kita melihat roman-roman buah tangan hamka yang tadi sudah pernah kita singgung dalam hubungan penulis cerpen.

Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seoran ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatera Barat yang pernah mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Zahar di Kairo, Mesir. karena itu, meskuipun Hamka sekolahnya hanya sampai kelas II Sekolah Dsasar saja, namun ia mendapat pendidikan agama dan bahasa Arab yang luas dari Sumatra Thawalib, Parabek (Bukittinggi) dan dari ayahnya. Tahun 1927 Hamka pergi ke Jawa dan belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemimpin Islam terkemuka di Surabaya. Tahun 1927 ia pergi naik haji ke Mekah dan sepulangnya dari sana ia menjadi guru agama di padang dan turut pula memimpin pergerakan Muahammadijah di sana. Dari sana ia pindah ke medan dan aktif dalam jurnalistik. Ia menulis roman yang mula-mula dimuat sebagai feuilleton dalam majalah yang dipimpinnya. Bahwa seorng ulama menulis roman sangatlah aneh pada saat itu, sehingga timbul heboh. Hal itu menimbulkan pertikaian di kalangan umat Islam sendiri, ada yang pro dan ada yang kontra.

Roman Hamka yang petama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), mengishkan cinta tak samapi antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Yang membedakan roamn ini dengan kebanyakan roaman adat yang lain ialah karena pengaranya membawa pelakunya ke Mekah dekat Ka’bah. Juga romannya yang kedua Tenggelamnya kapal van der Wijck (1939) mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minagkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam roman ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan cmpuran Minang dengan Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena rapt nidik-mamak tdiak setuju dan menganggap Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin kemudian menjadi pengarang dan dalam suatu kecelakaan gadis kecintaanya meninggal dlam kapal yang ditumpanginya. Roman ini menimbulkan heboh pada tahun 1962, kerena ada orang yang menyebutnya roman ini sebagai hasil curian (plagiat). Roman ini disebut sebagai curian dari sebuah karangan pengarang Perancis Alphonse Karr yang penuh disadur ke dalam Bahasa Arab oleh Mustaffa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1924) sorang pujangga Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karanga Jean Bapitiste Alphonse Karr (1808-1890) yang dlalm bahsa Perancisnya berjudul Sous les Tilleules (Di bawah naungan pohon Tila) (1832) Madjulin. Madjdulin ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahsas Indonesia oleh A.S Alatas berjudul Magdalena (963).

Kecuali kedua roman itu, Hamka pun menulis pula Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1939).yang teakhir merupakan suatu kritik pula terhadap adat Minangkabau yang tidak segan-segan merusak kedamaian rumah tangga yang bahagia, karena si suami (orang Mingan) belum menikah secara adat, yaitu menikah dengan seoanrang Minangkabau, sehingga diceraikannyalah istri asal Jawa yang telah hidup bersama membangun rumah tangga bahagia.

Sehabis perang Hamka sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948?). riwayat hidupnya sendiri ditulisnya dalam empat jilid dengan judul Kenang-kenangan Hidup (1951-1952). Beberapa cerpennya dimasukkan pula ke dalam Di dalam Lembah Kehidupan.

Pengarang lain di Medan antara lain Matu Mona, namna samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1920 di Medan). Dan ia menulis roman berlatar peristiwa sejarah, berjudul Zamnan Gemilang (1939). Dan buku-bukunya yang lain adalah Ja Umenek Jadi-jadian, Rol Pacar Merah Indonesia, Spionage Dienst dan lain-lain

Sebuah roman yang dikarang oleh Iman Supardi berjudul Kintamani (1932) yang mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan seorang gadis Bali. Ia seorang wartawan yang aktif di Surabaya.

8. Pengarang Sumatra

Melalui usaha penyairnya sendiri dan penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di sumatra maka terbit beberapa buah kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah tangan Yogi. Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan lain-lain.

Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) sajak-sajaknya dimuat dalam majalah pujangga baru yaitu “Kisah Seorang Pengembara” (1936) memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbenmtuk soneta. Karyanya yang lain “Dewan Sajak” (1940) di bagi dalam 7 bagian yang rata-rata setiap bagian pengarang mengungkapkan pengalaman-pengalamanya. Kesukaran keindahan dan kegembiraan namun dengan cara yang datar karena tak ada penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak bermutu tinggi.

Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan dinilai kurang meyakinkan. Demikian juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di Medan 1917) diantaranya “Sarinah dan Aku” (1940). Kemudian sesudah masa pernag ia aktif dalam lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menerbitkan beberapa kumpulan sajak diantaranya “Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah.

Lebih bernilai unik diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang tahun1909). Beliau
banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan Agama Islam, salah satu sajaknya berbunyi:

BASMALLAH

Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti

Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, 1-1-1913). Lewat karyanya Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya. karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang Muda (1939).

Penyair terpenting yang menerbitkan sajaknya di Medan sebelum perang ialah Sumadi atau Anwar Rasjid (lahir di Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau yang berjudul Senandung Hidup (1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.

Dasar keagamaan pada penyair ini tidak pernah lepas, ia senantiasa ingat akan Tuhan, ia sadar dan kian ikhlas berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di kenang”. Sajak-sajaknya yang lain berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan setelah ia mengembara ke mana-mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA DISISI TUHAN.

Semua hal yang terkandung dalam puisi itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran jalan yang benar, hidup baginya hanyalah mencari ridho ilahi semata.

Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
Geocities.com



Artikel Terkait:

Posting Komentar

0 Comment:

Posting Komentar