Pertama: Bersama Artinya Bersaudara
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah di antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat” (Al-Hujarat 10)
Ayat ini mengingatkan saya pada Hasan Al-Bashri, ulama besar tabi’in itu. Standar paling mudah untuk ‘bersaudara’ menurut beliau adalah, saat seseorang dengan bebas mengakses kantong saudaranya. Dalam kalimat ‘Abdullah ibn ‘Umar, Radhiyallahu ‘Anhu, ini menjadi berbunyi, “Kami pernah melihat suatu masa, di mana seseorang melihat bahwa dirinya tidak lebih berhak atas dirham atau dinar miliknya dibanding saudaranya.” Begitulah mereka melukiskan persaudaraan di zamannya. Dan kita?
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta mencintai, sayang menyayangi, dan bantu membantu di antara sesamanya laksana sebuah jasa. Apabila salah satu bagiannya sakit, yang lain tiada bisa tidur di malam hari, dan menggigil demam” (HR Muslim)
Suatu ketika, orang-orang kaya muallaf -sejak zaman Rasulullah- yang lidahnya selalu terjulur kepada dunia mendatangi Khalifah Abu Bakar. “Mana bagian kami dari zakat?”, tanya mereka. Abu bakar lalu menulis surat perintah kepada ‘Umar. ‘Umar sebagai ‘Qadhi (hakim) akan memeriksa kelayakan dan kemudian mengesahkan ‘pencairan dana’ yang akan disampaikan pada Abu ‘Ubaidah ibn Al Jarrah, pengurus Baitul Maal. Ketika mendatangi ‘Umar, ‘Umar malah merobek surat itu. Ia menganggap mereka sudah tidak layak menerima zakat.
Dengan ketakutan mereka melapor kepada Abu Bakar, “Sebenarnya khalifahnya itu kamu ataukah ‘Umar?”, tanya mereka, “’Umar adalah khalifah kapan pun dia mau!”, jawab Abu Bakar. Inilah ekspresi Abu Bakar tentang kebersamaan cintanya dengan ‘Umar, rasa saling mengerti yang sulit dimengerti kecuali dalam bahasa cinta.
Ada sebuah kalimat Rasulullah yang membuat hati Anas ibn Malik begiti tenteram berbunga-bunga. Yakni kalimat bahwa seseorang akan bersama dengan yang dicintainya di akhirat nanti. Kata Anas, “Aku bisa berharap untuk membersamai Rasulullah, Abu Bakar, dan ‘Umar di surga nanti. Karena, meski amalanku tak sebaik amalan mereka, tetapi aku sangat mencintai mereka...” Ah indahnya. Siapa yang kau cintai saudaraku?
Persaudaraan ‘Aqidah ini tak menghendaki perubahan meski harus berbeda posisi sampai berhadapan menyikapi sebuah kejadian. Apa kata ‘Ammar bin Yasir yang selalu mendampingi ‘Ali dalam insiden perang berunta menghadapi trio Thalhah-Zubair-‘Aisyah ketika salah seorang anggota pasukan mencela sang ibunda, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu?
“Diam kau wahai siburuk laku! Akankah kau sakiti kecintaan Rasulullah, yang telah dibebaskan Allah dari segala tuduhan? Demi Allah, ‘Aisyah adalah isteri beliau di dunia dan di surga. Hanya saja kini Allah hendak menguji kita, apakah kepadaNya kita taat atau kepadanya!”
Zubair segera tersedu ketika ‘Ali mengingatkan saat mereka bersama Rasulullah dan beliau bersabda, “Zubair, apakah engkau mencintai ‘Ali? Kalau suatu ketika kau memeranginya, engkau yang menzhaliminya!” Thalhah yang pemalu segera menangis tersipu membuang pedang katika ‘Ali mengingatkan sebab turunnya larangan menikahi janda Rasulullah, yaitu keinginan Thalhah menikahi ‘Aisyah, dan kini -setelah Rasulullah wafat- ia malah mengajaknya serta berperang.
Jangan lupakan Mu’awiyah dan ‘Ali sebagai sesama penulis wahyu. Bukankah tangis Mu’awiyah sampai membasah jenggot ketika mendengar Dharar mengisahkan keutamaan ‘Ali saat ia wafat ditikam di Masjid Kufah pada suatu shubuh. “Demi Allah, memang begitulah Abul Hasan, bagaimana sedihmu atas dirinya wahai Dharar?”
“Seperti kesedihan seorang ibu yang anaknya disembelih di atas pangkuannya sendiri, tak akan putus tangisnya sampai ajal menjemput!”
Akhirnya, kebersamaan yang penuh atmosfer persaudaraan dan getaran cinta ini menjanjikan keagungan karunia berupa mimbar cahaya, mimbar yang membuat iri jajaran manusia-manusia mulia.
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Mereka yang saling mencintai karena keagunganKu mempunyai mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan oleh para Nabi dan para Syuhada” (HR At Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal)
Siapkah hati, jiwa, raga, dan harta kita untuk bersaudara?
Siapkah mata, telinga, lisan, dan tangan kita untuk bersaudara?
(Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Salim A.Fillah)
andaikan umat islam sekarang sebagaimana di contohkan oleh umat2 terbaik zaman dulu, wuih adem ayem pastinya..
BalasHapus