"AIR PANASNYA diminum dulu Kak Iz", Aisyah meletakkan baki berisi secangkir teh dan sepiring kecil pisang goreng. Ia memperhatikan suaminya yang sibuk membenahi kertas-kertas kerjanya. "Gimana Kak naskahnya, jadi terbit pekan ini?", tanyanya sembari duduk di kursi depan meja kerja.
"Insya Allah De,hari ini editing terakhir", Izzah meneguk cangkirnya, "Hmhh...ahh..Alhamdulillah
, enak juga, kirain cuma bisa buat rangka gedung doang." Kerling matanya menggoda Aisyah.
"Insya Allah De,hari ini editing terakhir", Izzah meneguk cangkirnya, "Hmhh...ahh..Alhamdulillah
, enak juga, kirain cuma bisa buat rangka gedung doang." Kerling matanya menggoda Aisyah.
"Enak aja, pas kuliah aja 'Isyah jarang di dapur. Abis, Arsitek 'kan tahu sendiri. Udah deh Kak masih pagi nggak usah iseng, ntar lupa loh kerjaan di kantor" Aisyah berdiri membawa baki kosong berbalik ke dapur. Di wajahnya tersungging senyum, bahagia mendapatkan suami yang selalu membuatnya riang.
Izzah memandangi jilbab coklat muda yang berkibar menutup diri istrinya. Serasi. Ia teringat masa-masa awal setelah akad mereka.
"Aku tidak mempunyai apa-apa yang patut di banggakan. Tapi aku punya tanggung jawab untuk tidak menyia-nyiakanmu. Aku menghitung ini semua sebagai investasi akhiratku di hadapan Allah. Ingatlah kita sedang membangun peradaban. Kita mengemban misi dakwah dengan pernikahan ini." Izzah menatap dalam mata istrinya.
"Aku tidak memilihmu karena apa-apa, aku hanya yakin engkau dapat membawaku kepada Allah. Aku berdo'a mampu memberikan semua yang kau butuhkan untuk investasi itu. Aku tidak ingin mengulang kesalahan zaman, melahirkan anak-anak yang kering dengan kasih sayang dan perhatian. Tidak akan ada persaingan antara kasih sayang dan kesibukanku untuk mereka. Jika mereka jadi pelajar cukuplah, tak perlu sekaligus menjadi preman. Tak perlu ada hobi tawuran dalam dirinya." jawab Aisyah, sembari menunduk, mempermainkan cincin perkawinannya.
"Baiklah, ini visi kita, pelayaran pun baru kita mulai. Akan banyak badai di depan. Bantu aku menghadapinya," Izzah tersenyum. Penuh makna.
"Kak..,Kak Iz..Kak.., Nah... ya... senyam-senyum sendiri. Masih pagi Kak, istighfar. Ngelamunin Isyah ya., ngaku aja deh. Tenang aja Kak, Isyah nggak kemana-mana kok. Udah deh Kak, antarin Isyah ngampus yuk, Mo ketemu pembimbing, ntar telat nih" Aisyah menyadarkan Izzah sembari mengibas-ngibaskan tangannya di depan mata Izzah.
"Huhh Ge-eran nih jadi akhwat... Yuk". Izzah menggamit lengan istrinya. Mesra.
sumber Al-IZZah No. 17/Th. 2, 31 Mei 2001 M
Artikel Terkait:
Keluarga
- “CALON IBU/AYAH” BUKAN “CALON ISTRI/SUAMI
- Menyempurnakan Dua Tahun Penyusuan
- Kebiasaan Bayi
- Tips Memilih Sekolah untuk Anak
- Cerdaskan Anak Anda dengan 25 Game Terbaik untuk Pendidikan
- Melihat Sebagian Wajah Rumah Tangga Rasulullah
- Semua Berawal dari Keluarga
- Menggapai Mahligai Cinta Melalui Pernikahan Barokah
- Tips Untuk Pengantin Baru
- Pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah
Islami
- JODOH ITU RAHASIA ALLAH
- Puasa pada Hari Syak
- Tanya Jawab tentang Mengubah Takdir
- Menyempurnakan Dua Tahun Penyusuan
- Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri
- Siapakah Sebenarnya Abu Nuwas (Abu Nawas)?
- Dunia Sementara, Akhirat Selamanya
- Walisongo adalah Jamaah yang Bertabligh ?
- SHALAWAT MEMBAWAKU KE JAKARTA
- Ketahuilah Wahai Pemuda Islam - Sejarah Di Balik “April Mop”
Cerita Inspiratif
Posting Komentar