Rabiatur Ra’yi, Sang Ulama Tiga Puluh Ribu Dinar



Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi adalah gubernur Khurasan, pembebas Sajistan dan seorang panglima pemberani. Setelah berhasil membebaskan negeri Sajistan, Rabi’ bin Ziyad bermaksud menyempurnakan kemenangannya dengan menaklukkan negeri di belakang Sungai Seyhun. Kali ini ia didampingi oleh seorang anak buahnya bernama Furukh. Atas izin Allah, Rabi’ dan pasukannya berhasil memenangkan pertempuran. Namun, dua tahun setelah keberhasilannya itu, maut menjemputnya. Dia kembali kepada Allah dengan tenang.

Ada pun Furukh, kembali ke Madinah, dalam usia yang masih sangat muda, 30 tahun. Ia membeli sebuah rumah yang sangat sederhana dan menikah dengan seorang gadis pilihannya. Ia merasakan kebahagiaan yang selama ini diimpikannya. Rumah tinggal yang nyaman dan istri yang shalihah. Namun, semua itu tak mampu meredam kerinduannya untuk berjihad di jalan Allah.
Suatu hari seorang khatib Jum’at memberi kabar gembira tentang berbagai kemenangan yang diraih kaum muslimin. Ia mendorong para jamaah untuk terus melanjutkan perjuangan. Dengan semangat yang tinggi, Furukh bergabung dengan pasukan perang yang akan berangkat. Saat itu, istrinya sedang hamil tua. ia hanya meninggalkan uang 30.000 dinar. “Pergunakanlah secukupnya untuk keperluanmu dan bayi kita nanti kalau sudah lahir,” ujarnya seraya berpamitan.
Beberapa bulan setelah keberangkatan Furukh, istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki tampan. Sang ibu menyambutnya penuh bahagia sehingga melupakan perpisahannya dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama: Rabi’ah. Begitu menginjak dewasa, Rabiah diserahkan kepada beberapa guru untuk diajarkan ilmu agama dan akhlak. Untuk itu sang ibu memberikan imbalan yang memadai dan hadiah bagi guru-guru itu. Setiap kali ia melihat kemajuan ilmu putranya, setiap kali pula ia menambah hadiah untuk pengajar Rabiah.
Rabiah terus menimba berbagai ilmu pengetahuan. Ia tak bosan-bosan belajar dan menghafal apa yang diberikan gurunya. Akhirnya ia menjadi seorang alim yang pandai dan terkenal. Akhirnya, terjadilah sebuah peristiwa yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Malam terang di musim panas. Seorang prajurit tua berjalan pelan memasuki Madinah. Usianya hampir enam puluh tahun, tapi langkahnya masih tegap dan mantap. Dia telusuri lorong-lorong menuju sebuah rumah. Dalam benaknya bergejolak berbagai pertanyaan.
Apakah yang sedang dilakukan istrinya di rumah? Apakah anaknya sudah lahir? Laki-laki atau perempuan? Di jalan-jalan masih terlihat orang lalu lalang. Namun tak seorang pun yang memperdulikannya. Ia memandang sekeliling. “Ah, ternyata telah banyak perubahan,” gumamnya. Tiba-tiba, tanpa disadari ia telah berada di depan sebuah pintu yang terbuka. Spontan ia menyeruak masuk. Si empunya rumah yang mengetahui seorang laki-laki tua menyandang senjata masuk ke rumahnya tanpa permisi segera melompat menghadang. Pergulatan seru pun terjadi karena laki-laki tua itu memaksa masuk.
Para tetangga yang mendengar keributan itu segera berdatangan. Termasuk seorang ibu tua yang sedang tidur nyenyak terbangun. Melihat siapa yang sedang bergulat, ibu tua itu segera sadar dan berteriak, “Rabiah, lepaskan! Dia ayahmu. Wahai Abu Abdurrahman, dia anakmu. Jantung hatimu.” Mendengar seruan itu, dua orang yang sedang bergulat segera berdiri. Hampir tak percaya mereka berpelukan, melepaskan rindu. Mereka benar-benar tak menyangka pertemuan itu akan berlangsung begitu rupa.
Kini Furukh duduk bersama istrinya. Dia menuturkan segala pengalamannya selama di medan jihad. Namun, dalam hati, istrinya tidak bisa tenang karena bingung menjelaskan pengeluaran uang yang ditinggalkan suaminya sebelum berangkat. “Bagaimana aku menjelaskannya? Apakah suamiku akan percaya kalau uang sebesar 30.000 dinar itu habis untuk biaya pendidikan anaknya?” ujar sang istri dalam hati.
Dalam keadaan bingung begitu, tiba-tiba Furukh berkata, “Wahai istriku, aku membawa uang 4.000 dinar. Gabungkan dengan uang yang kutinggalkan dulu.”
Sang istri semakin bingung. Ia terdiam tak menjawab ucapan suaminya.
“Lekaslah, mana uang itu?” tanya Furukh lagi.
Dengan wajah agak pucat dan bibir bergetar, istrinya menjawab, “Uang itu kuletakkan di tempat yang aman. Beberapa hari lagi akan aku ambil Insya Allah.”
Adzan subuh tiba-tiba berkumandang. Istrinya menarik napas lega.
Furukh bergegas mengambil air wudhu, lalu keluar sambil bertanya, “Mana Rabiah?”
“Dia sudah berangkat lebih dahulu ke masjid!” jawab istrinya.
Setibanya di masjid ruangan sudah penuh. Para jamaah mengelilingi seorang guru yang sedang mengajar mereka. Furukh berusaha melihat wajah guru itu, namun tak berhasil karena padatnya jamaah. Ia terheran-heran melihat ketekunan mereka mengikuti majelis syaikh tersebut.
“Siapakah dia sebenarnya?” tanya Furukh kepada salah seorang jamaah.
“Orang yang Anda lihat itu adalah seorang alim besar. Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Lait bin Sa’ad dan lainnya. Di samping itu dia sangat dermawan dan bijaksana. Dia mengajar dan mengharapkan ridha Allah semata,” jawab orang itu.
“Siapakah namanya?” tanya Furukh.
“Rabi’atur Ra’yi.”
“Rabi’atur Ra’yi?” tanya Furukh keheranan.
“Benar.”
“Dari manakah dia berasal?”
“Dia adalah putra Furukh yang berjuluk Abu Abdurrahman. Dia dilahirkan tak lama setelah ayahnya meninggalkan Madinah sebagai mujahid fi sabilillah. Ibunyalah yang membesarkan dan mendidiknya,” orang itu menjelaskan.
Tanpa terasa air mata Furukh menetes karena gembira. Ketika kembali ke rumah ia segera menemui istrinya. Melihat suaminya menangis, sang istri bertanya, “Ada apa, wahai Abu Abdurrahman?”
“Tidak ada apa-apa. Saya melihat Rabiah berada dalam kedudukan dan kehormatan yang tinggi yang tidak kulihat pada orang lain,” jawab Furukh.
Ibu Rabiah melihat hal tersebut merupakan kesempatan untuk menjelaskan amanat suaminya berupa uang 30.000 dinar. Ia pun segera berkata, “Manakah yang lebih baik dan kau sukai antara uang 30.000 dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu?”
“Demi Allah, inilah yang lebih kusukai daripada dunia dan segala isinya,” jawab Furukh.
“Ketahuilah suamiku. Aku telah menghabiskan semua harta yang engkau amanatkan untuk biaya pendidikan putra kita. Apakah engkau rela dengan apa yang telah kulakukan?” tanya ibu Rabiah.
“Aku rela dan berterima kasih atas namaku dan nama seluruh kaum muslimin,” jawab Furukh gembira.


Artikel Terkait:

Posting Komentar

0 Comment:

Posting Komentar