Tentram damai
Hidup rukun saling percaya
Hijau rindang sekitar kita
Andai esok kiamat tiba
Tanam pohon jangan di tunda
Terus tanam jangan berhenti
Alam lestari Hidup tak bakal berhenti
(Iwan Fals)
Lirik itu tidak berhenti terdengar. Suara Iwan Fals menggema di teater Salihara Jakarta Selatan pada acara konser amal Selasa (3/11). Lagu berjudul Robot Bernyawa, Ini Bukan Mimpi, Pohon Kehidupan, dan Siram Tanam, menghibur hadirin.
Hidup rukun saling percaya
Hijau rindang sekitar kita
Andai esok kiamat tiba
Tanam pohon jangan di tunda
Terus tanam jangan berhenti
Alam lestari Hidup tak bakal berhenti
(Iwan Fals)
Lirik itu tidak berhenti terdengar. Suara Iwan Fals menggema di teater Salihara Jakarta Selatan pada acara konser amal Selasa (3/11). Lagu berjudul Robot Bernyawa, Ini Bukan Mimpi, Pohon Kehidupan, dan Siram Tanam, menghibur hadirin.
Lagu-lagu tersebut didendangkan penyanyi yang terkenal dengan kritik sosialnya itu sebagai keprihatinan terhadap penebangan hutan gambut di Kampar yang semakin parah. Khususnya di kawasan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.
Hutan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar seluas 700 ribu hektare, kini tinggal sekitar 300 ribu hektare. Perusakan itu semakin membuat kehidupan warga sekitar semakin sengsara.
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan itu tidak berdaya menghadapi pemodal, baik pembalak liar maupun perusahaan raksasa. Daerah terdiri atas sembilan desa itu merupakan permukiman terdekat dengan Semenanjung Kampar yang lebih akrab disebut warga dengan, Hutan Seberang.
Hampir seluruh warga —terutama laki-laki- di desa pernah terlibat langsung dalam kejahatan lingkungan itu. Umumnya mereka menjadi pekerja upahan para cukong kayu dari Pekanbaru hingga negeri jiran, Malaysia. Semua itu mereka lakukan karena tergiur dengan keuntungan materi.
Ketika rame-ramenya pembalakan liar terjadi, daerah itu seperti magnet dan perputaran uang sangat tinggi. Para pedagang dari daerah lain meraup untung dengan membawa barang-barang yang membanjiri pasar di Teluk Meranti setiap hari.
Kehancuran moral
Bukan hanya benda-benda mati yang dijual, wanita pekerja seks pun ikut menjajakan tubuhnya. Terbukti warung remang-remang dan penginapan kelas melati menjadi mudah ditemukan, sebuah tanda kehancuran moral akibat kehancuran hutan.
Masyarakat semakin mengabaikan alam, budaya, dan hukum. Tradisi mempergunakan hasil hutan secukupnya sebagai bahan rumah dan perahu tinggal kenangan saja. Mata pencaharian sebagai petani dan nelayan yang sudah bertahan turun-temurun nyaris hilang.
Semua warga, baik itu pendatang hingga saudara sendiri, saling bersaing untuk meraup untung dari menebang hutan Semenanjung Kampar.
Semakin terpuruk
Kini warga merasakan pahitnya. Pembalakan liar tidak lagi dianggap sebagai kesempatan mengais kehidupan dengan baik, tetapi lembaran kelam bagi kehidupan Teluk Meranti. Uang dari kayu hanya menguntungkan cukong dan segelintir warga yang dekat dengan cukong saja.
Pernah warga teluk meranti membentuk regu yang terdiri dari delapan warga untuk menjadi penebang dan menarik kayu di hutan Semenanjung Kampar. Dari kerja selama dua pekan di hutan mendapatkan penghasilan kotor sekitar 15 juta rupiah.
Sebelum dibagi rata, pendapatan itu harus dipotong untuk membayar modal membalak yang didapatkan dari cukong kayu. Selain itu, para pekerja juga harus melunasi hutang biaya operasional di pedagang sembako untuk pembelian bahan makanan dan bensin.
Bukannya untung malah buntung. Uang 15 juta yang mereka dapat justru tidak cukup menutupi biaya kerja mereka sebesar 25 juta rupiah.
Perputaran uang di Teluk Meranti memang tinggi saat pembalakan liar terjadi. Namun hal itu juga dibarengi dengan harga barang kebutuhan yang naik hingga 10 kali lipat.
Dampaknya, warga tidak bisa lagi mencari kayu. Ekonomi warga langsung anjlok. Yang tertinggal utang yang menumpuk di cukong dan pedagang.
Setelah masa pembalakan liar usai, mayoritas warga Teluk Meranti masih hidup dalam kemiskinan. Pembangunan infrastruktur jalan, listrik dan pendidikan di daerah itu masih tertinggal. Hingga kini warga masih menggunakan jamban apung di sungai untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.
Lahan Tidak Lagi Menjanjikan
Kesadaran mulai muncul. Warga ingin kembali menjadi petani. Namun, semuanya terlambat karena dampak kerusakan hutan membuat pertanian di Semenanjung Kampar tak lagi menjanjikan.
Hama babi makin ganas karena hutan makin sedikit. Babi yang jumlahnya ribuan menyerang padi ladang dan semua tanaman yang ditanam warga di hutan seberang. Akibat babi tersebut, sedikitnya terdapat 20 ribu hektare lahan tidur bekas ladang pertanian yang terbengkalai di Semenanjung Kampar.
Sebelum terjadi pembalakan liar tanah di hutan Semenanjung Kampar sangat subur untuk bercocok tanam. Warga tidak kesulitan mencari beras dengan kualitas bagus.
Berbeda dengan sekarang, Mereka tidak mampu lagi membeli beras itu. Mereka mengkonsumsi beras Bulog yang kualitasnya jauh berbeda.
keinginan warga Teluk Meranti untuk kembali ke pertanian sempat mendapat ‘angin segar’ ketika Pemerintah Provinsi Riau menetapkan daerah itu dalam program cetak sawah seluas 125 hektare dalam Program Operasi Pangan Riau Makmur pada tahun 2009.
Sebanyak 12 karung --ukuran 50 kilogram— berisi benih padi bantuan pemerintah juga telah digelontorkan untuk setiap kelompok tani di sana.
Tapi, impian tersebut kandas karena ternyata lahan yang masuk dalam rencana cetak sawah di Semenanjung Kampar tumpang tindih dengan konsesi perusahaan bubur kertas raksasa di Riau. Akibatnya, benih itu rusak.
Bukan hanya petani, nelayan desa pun mulai sulit mendapatkan ikan karena pembukaan kanal gambut di Semenanjung Kampar membuat air asam gambut mengalir ke sungai. Akibatnya ikan incaran mereka menghilang entah kemana.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Bustar Maitar menilai bahwa masyarakat setempat perlu dibina untuk dapat mengelola kelestarian hutan Semenanjung Kampar demi masa depan mereka.
"Perlu ada konsep pembangunan berkelanjutan untuk mengelola Semenanjung Kampar dan yang dapat mensejahterakan masyarakat tanpa merusak hutan," katanya.
Menurut dia, pelestarian hutan rawa gambut Semenanjung Kampar bukan hanya penting untuk masyarakat, tapi juga berfungsi penting bagi penyelamatan Bumi dari ancaman pemanasan global.
"Semenanjung Kampar memiliki keunikan karena merupakan daerah dengan gambut dalam yang merupakan satu wilayah karbon paling besar," katanya.
Jika Hutan ini terus ditebang dimana lagi pusat emisi karbon. Hal ini jelas semakin menyengsarakan warga.
Sumber : MAJALAH SABILIO
Oleh : Erdy Nasrul
Posting Komentar