Mengenal Sosok Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan keluarganya


Nama lengkapnya adalah Abu Hafash Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam Ibnul Ash bin Umaiyah bin Abdi Syams. Ibunya bernama Laila Ummi Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab, Khalifah Islam kedua. Jelaslah dengan demikian, bahwa dari pihak ayahnya ia adalah keturunan bangsawan Bani Umayyah dan dari pihak ibunya bersambung dengan orang besar Islam yang amat terkenal, Umar bin Khattab r.a yang hebat itu.
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang putera Syria yang dilahirkan di kota suci Madinah pada tahun 63 Hijriyah, yakni pada tahun tentara Yazid menyerbu negeri itu di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah dengan kekuatan 12.000 ribu tentara untuk memadamkan pemberontakan rakyat negeri itu. Pada saat rusuh dan kacau itulah Umar bin Abdul Aziz dilahirkan ke dunia sebagai isyarat, bahwa bayi yang baru lahir itulah kemudian yang akan dapat membawa kerukunan dan perdamaian bagi negeri yang diamuk bencana itu.
Tatkala ia telah menjadi pemuda yang cerdas ia berkunjung kepada Abdullah bin Umar r.a karena ada hubungan dengan ibunya. Sekembalinya dari sana ia berkata kepada ibunya “Wahai ibu, saya ingin seperti nenek”, yang dimaksudnya ialah tidak lain daripada Abdullah bin Umar r.a.
Tatkala ia telah besar, ayahnya berangkat ke Mesir memangku jabatan Gubernur di negeri itu. Kemudian tak lama datanglah surat dari Abdul Aziz, Gubernur Mesir yang baru itu kepada istrinya supaya menyusul dengan menyertakan anaknya Umar bin Abdul Aziz. Ibunya berunding tentang itu dengan Abdullah bin Umar sekaligus meminta pendapatnya tentang surat suaminya itu. Abdullah bin Umar menjawab “Dia itukan suamimu,berangkatlah memenuhi panggilannya kesana, wahai anak saudaraku!”. Dan ketika Ummu Ashim mau keluar rumah Abdullah bin Umar r.a berkata kepadanya “Tinggalkanlah anak muda ini bersama kami,karena dialah diantara kita yang lebih menyerupai ahlul bait (keluarga suci rumah tangga Rasulullah)”. Ummu Ashim tidak menolak permintaan itu dan tinggallah ia di Madinah dengan neneknya Abdullah bin Umar bin Khattab r.a.
Tatkala Ummu Ashim berada di Mesir,maka disampaikannyalah kata-kata Abdullah bin Umar r.a itu kepada suaminya,Abdul Aziz dan beliau pun gembira mendengarkan hal itu.
Abdul Aziz Sang Gubernur Mesir itu pun berkirim surat kepada saudaranya, Abdul Malik bin Marwan, Khalifah yang berkedudukan di Damaskus dan Khalifah berjanji akan memberikan belanja setiap bulan untuk keperluan Umar bin Abdul Aziz yang ditinggalkan di Madinah untuk kepentingan pendidikannya sebanyak seribu dinar.
Tak lama kemudian Umar bin Abdul Aziz pun rindu kepada orang tuanya dan ia berkunjung ke Mesir dan hidup di sana beberapa waktu lamanya. Tentang kehidupan ayahnya sebagai pejabat tinggi di Mesir yang memangku jabatannya pada tahun 65 Hijriyah dapatlah kita ketahui disini bahwa zaman pemerintahan Abdul Aziz di Mesir adalah zaman yang paling gemilang. Dimasa itu ia banyak mengadakan perbaikan-perbaikan. Dibuatnya alat pengukur air sungai Nil dan dibangunnya sebuah jembatan di teluk Amirul Mukminin. Dipugarnya masjid Jami` Amru lalu diperluasnya ke empat jurusan. Ia juga mencurahkan perhatiannya kepada kota Propinsinya. Lalu dibangunnya di sana kolam air, ditanamnya pohon-pohon kayu dan kurma, didirikannya masjid-masjid dan dipindahkannya ke sana kantor-kantor pemerintahan dan Baitul Mal.

Abdul Aziz adalah seorang pemimpin yang toleran dan dermawan. Ia tidak pernah menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri, walaupun daerah Mesir itu dapat dijadikannya sumber kekayaan baginya. Ia tidak mau mengirimkan ke ibu kota Damaskus sesuatupun dari penghasilan daerah tersebut. Menurut riwayat, ia telah membelanjakan seluruh harta kekayaannya. Dan ketika ia meninggal dunia, ia hanya meninggalkan kekayaan sebanyak tujuh ribu dinar saja. Ini adalah jumlah yang kecil bila dibandingkan dengan kedudukan dan kekayaannya.
Demikinlah kehidupan dan perilaku ayahnya selagi beliau menjabat kedudukan tinggi itu di Mesir, seorang pejabat yang dapat menjadi suri tauladan bagi rakyat dan juga bagi anaknya sendiri, Umar bin Abdul Aziz selama dua puluh tahun masa jabatannya itu di Mesir sampai ayahnya meninggal di sana pada tahun 85 Hijriyah.
Dedikasi yang cemerlang dan keikhlasan dalam mengemban tugas-tugas yang berat itulah agaknya kemudian yang menurun kepada anaknya di kala kemudian ia menjadi pejabat yang terpenting dalam Negara selaku kepala Negara yang sholeh.


Artikel Terkait:

Posting Komentar

0 Comment:

Posting Komentar